Minggu, 09 Juli 2017

REVIEW BUKU IDENTITAS TIONGHOA pasca- Soeharto- Budaya, Politik dan Media-

RESENSI BUKU
IDENTITAS TIONGHOA
Pasca-Suharto -Budaya, Politik dan Media-



BAB 1 BERBAGAI PENDEKATAN UNTUK MEWADAHI KETIONGHOAAN

     Indonesia adalah sebuah bangsa dengan beragam etnis dan budaya. Cita-cita untuk menciptakan sebuah negara-bangsa yang bersatu tampak dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika , yang di patrikan pada tahun 1945. Jatuhnya Suharto pada tahun 1998 membuat ideology orde baru dan kebijakan asimilasi berakhir, sekaligus membuka ruang baru bagi kebangkitan kembali politik identitas di seluruh Indonesia. Pada saat yang sama, wacana multi kulturalisme pun muncul yang kemudian diperbincangkan dan diperdebatkan dikalangan para aktivis social dan akademisi.

ASIMILASIONALISME DIBAWAH ORDE BARU SUHARTO
     Antara 1966 dan 1998, presiden Suharto menciptakan budaya nasional baru dengan menegaskan kembali pentingnya ideology pancasila. Ideology nasional ini di promosikan sebagai satu-satunya azas bagi semua “organisasi kemasyarakatan” (ormas) dan “organisasi social- politik” (orsospol) dibawah rezim orde baru (morfit 1986 : 42). Suharto menghendaki pengalaman pancasila ini bias meresap “ke setiap sendi kehidupan bangsa dan negara kita “ (Elson 2001 : 241). Bagi rezim orde baru, pengamalan ideology pancasila merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan tujuan pokok stabilitas dan keamanan politik yang di perlukan untuk pembangunan nasional; jadi, “menyeleweng dari pancasila berarti memperlemah usaha pembangunan, stabilitas nasional dan kepribadian rakyat Indonesia “ , (Morfit 1986: 43).
     Akan tetapi, ideology nasional orde baru tidak pernah secara efektif berupaya mewadahi kehadiran etnis tionghoa. Dalam proses mendefinisikan identitas nasional atas dasar keaslian atau kepribumian , orang tionghoa diliankan aatau dianggap sebagai orang luar non pribumi, tetapi ironisnya, ketionghoaan secara luas juga dianggap sebagai problem “domestic”, atau disebut masalah tionghoa, yang mengganggu solidaritas bangsa. Melihat posisi dominan etnis tionghoa dalam perekonomian bangsa sebagai suatu masalah, pemerintah orde baru berusaha mengatasinya dengan mengabsahkan program pembauran yang didukung militer. Program ini menentukan penghapusan secara total segala tanda dan penanda ketionghoaan dan mendorong kelompok etnis yang bermasalah ini untuk membaurkan diri ke dalam budaya-budaya daerah yang telah di konstruksikan secara resmi. Budaya-budaya daerah yang di konstruksikan ini merupakan satu-satunya budaya etnis yang sah diindonesia dijaman Suharto .dengan demikian , ketionghoaan senantiasa berada dalam ancaman untuk dihapus.

POLITIK MULTIKULTURALISME
     Multikulturalisme, sebuah kebijakan yang pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1960-an, merupakan suatu pergeseran signifikan dimana identitas di konstruksikan dalam konteks modernitas barat. Multikulturalisme menandai ditinggalkannya universalisme barat maupun ideology asimilasi monokultural (agger 1998) kebijakan multicultural mendorong gerakan kembali ke akar dan penguatan identitas etnis. Agger menggambarkan multikulturalisme sebagai “versi posmodernisme amerika yang secara politis paling terlibat” (1998 : 69). Ia mengatakan bahwa multikulturalisme muncul menyertai teori-teori postmodern yang menekankan pemahaman bahwa perbedaan diantara orang per orang lebih penting daripada kesamaan. Tuntutan atas diakuinya hak-hak, budaya, identitas kaum minoritas- apa yang oleh Charles taylor dirujuk sebagai “politics of recorgnition” (politik pengakuan) – berada dalam jantung wacana multikulturalisme (1994). Multikulturalisme berupaya mensubversi homogenisasi cultural dengan mengakui koeksistensi dan representasi berbagai budaya dan kelompok masyarakat yang berbeda dalam sebuah negara- bangsa.
                        Ketetapan hati multikulturalisme untuk memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang tetap dan tak berubah telah membuat kebijakan ini bermasalah. Multikulturalisme yang terlalu menekankan keterikatan cultural memiliki kekurangan untuk menjadi suatu bingkai untuk menyembunyikan rasisme dibalik tabir “perbedaan cultural”. Ironisnya, inilah efek yang hendak dihapuskan oleh kebijakan multikulturalisme itu sendiri. Barangkali masalah riil multikulturalisme terletak pada kecenderungan bahwa ‘’’-isme’ yang ada pada konsep ini mengubah ‘multikulturalisme’ menjadi sebuah doktrin politik” (hall 2000 : 210). Kondisi multukultural hanya bias dihidupi dan digerakan kembali dan ditransformasikan dengan pengakuan atas hibriditas. Kendati demikian, konsep hibriditas tidaklah kebal terhadap penyelewengan politik dan terkadang di (salah) respresentasikan sebagai wacana harmoni multicultural yang sederhana. Ien Ang mengingatkan kita bahwa “hibriditas, yakni suatu kondisi keberantaraan yang riil, tidak dapat diredusir pada perkara sekadar jabat tangan, penyatuan dan perpaduan yang harmonis dan menggembirakan “(2001a : 17).
                        Proses demokratisasi telah mendorong maraknya politik identitas pada masa pasca – Suharto. Pada saat bersamaan, politisasi ini telah menantang bangsa Indonesia untuk mencari pendekatan (-pendekatan) baru guna mengakomodasi kelompok-kelompok etnisnya yang beraneka ragam. Buat bangsa Indonesia pertanyaan penting yang perlu diajukan bukanlah bagaimana “mengatasi” (overcome) atau “menyingkirkan” (get rid) perbedaan, seperti dalam kasus kebijakan asimilasionisnya Orde Baru, tetapi lebih pada bagaimana “hidup dengan” (live with) perbedaan (Ang 2001a: 1994; Papastergiadis 2005: 60). Dalam merumuskan suatu kebijakan multicultural untuk menggantingkan paradigma asimilasonis lama, mutlak bagi para pengambil kebijakan untuk mengakui percampuran silang-budaya, peminjaman dan hibridasi yang terjadi dalam realitas dari hari ke hari sedemikian rupa sehingga perbedaan-perbedaan etnis bias lebih berhasil diakomodasikan di negeri yang beragam ini. *

BAB 2 KONSTRUKSI HISTORIS IDENTITAS MANUSIA

     Etnis Tionghoa di Indonesia telah bersikap fleksibel, tanggap dan kreatif dalam menyesuaikan diri dengan perubahan. Tan Chee Beng menyatakan bahwa identitas etnis dan cultural orang Tionghoa di Asia Tenggara telah dibentuk oleh berbagai pengalaman local di negara tempat mereka tinggal dalam suatu proses yang disebut lokalisasi (2001). Identitas orang Indonesia tionghoa berlapis-lapis sesuai dengan tingkat adaptasi dan akulturasi mereka dengan kondisi-kondisi setempat (lihat M.Li 2003). Manifestasi ketionghoaan yang berlainan dalam periode pemerintahan yang berbeda menunjukan bahwa identitas itu tidak statis,tetapi dinamis dan bias diubah serta didefinisikan kembali.
Peng-‘stereotip’-an adalah metode mengolah informasi dengan cara meredusir citra dan gagasan [yang kompleks] ke dalam bentuk yang sederhana dan bias ditangani (manageable) (loomba 1998:59-60). Tidak ada garis nyata antara “diri” dan “lian” ; stereotip berfungsi sebagai garis imajiner yang menetapkan “mereka” berpisah dari “kami” (gilman 1985).
Gilman berpendapat bahwa stereotip itu merupakan “produk dari sejarah dan suatu budaya yang terus menerus menghidupkannya. Tak ada sesuatu yang acak; tidak ada sesuatu yang terpisah dari konteks sejarah “(1985:20). Identitas tidak pernah tetap dimasa lampau yang esensialis , “identitas itu tunduk pada ‘ permainan’ sejarah, budaya dan kekuasaan yang berlangsung “ ( hall 1993:394).
Pada tahun 1991, siswono, yang waktu itu menjabat menteri negara perumahan rakyat, menerbitkan sebuah risalah yang berisi 9” dosa” etnis tionghoa yang menurutnya telah merusak citra mereka. Kesembilan dosa etnis tionghoa yang ia daftar itu adalah sebagai berikut
1.      Mereka tinggal secara eksklusif di lingkungan mereka sendiri;
2.      Sejumlah perusahaan lebih suka merekrut orang-orang keturunan Tionghoa;
3.  Dalam pemberian gaji, sejumlah perusahaan melakukan tindakan diskriminatif, dengan memberikan gaji lebih kepada pekerja dari etnis Tionghoa;
4.  Ada sejumlah perusahaan yang membeda-bedakan antara etnis Tionghoa dan etnis lain di Indonesia dalam perilaku mereka terhadap klien, dalam relasi bisnis mereka;
5. Di lingkungan tempat tinggal, mereka tidak menunjukkan kesetiakawanan social dan kebersamaan dengan orang-orang dari etnis lain;
6.  Ada di kalangan mereka yang rasa identitas kebangsaannya masih sangat lemah,dan yang memperlakukan Indonesia semata-mata sebagai tempat tinggal dan mencari penghasilan;
7.     Ada yang kehidupan sehari-hari masih berbahasa Tionghoa dan setia dengan tradisi mereka, dan yang bahkan tidak mengenal adat istiadat Indonesia, dan yang tidak berusaha berbahasa Indonesia dengan baik;
8.      Ada yang memandang kewarganegaraan Indonesia mereka sebagai status hukum belaka;
9.      Ada yang merasa lebih hebat terhadap kelompok-kelompok penduduk lainnya.
Tiga dari “dosa-dosa” ini terkait dengan praktik-praktik bisnis para pengusaha Indonesia-Tionghoa. Peran etnis Tionghoa yang begitu mencolok dalam perekonomian Indonesia turut andil dalam pelanggengan stereotip negative ini. Hal ini juga karena alasan bahwa banyak orang Tionghoa yang menjadi sangat kaya dibawah rezim Orde Baru dan tidak sedikit di antaranya yang tampak memamerkan kekayaan mereka dengan gaya hidup yang berlebihan – suatu keadaan yang dianggap sebagai masalah oleh kaum Pribumi bila disandingkan dengan kemiskinan banyak orang Indonesia.

BAB 3 “KEBUDAYAAN” TIONGHOA DAN IDENTITAS DIRI

            Berbagai peristiwa politik mei 1998 yang memaksa Suharto turun dari tampuk kekuasaannya membuat kedudukan etnis tionghoa yang sangat bermasalah dalam hubungannya dengan bangsa Indonesia mencuat ke permukaan satu konsekuensi dari berbagai kerusuhan itu adalah terjadinya apa yang oleh para pakar maupun dimedia umum lazim disebut “kebangkitan kembali identitas tionghoa, yang tercermin dalanm “kemunculan kembali” Pers, budaya , religi dan bahasa mandarin. Untuk menunjukan bahwa mereka telah berjarak dari ideology otoriter orde baru sekaligus memperlihatkan komitmen mereka pada reformasi dan perubahan, para pengambil kebijakan dilingkungan pemerintah pasca orde baru mengadopsi kebijakan multikulturalisme, dan mengamandemen kebijakan-kebijakan tertentu yang diskriminatif terhadap etnis tionghoa.
Bab ini secara kritis telah membahas peran “kebangkitan kembali “ bahasa dan budaya tionghoa pasca-Suharto dalam pembentukan identitas tionghoa ditengah kekuatan-kekuatan hibridisasi dan globalisasi. Bab ini mendokumentasikan peran orang tionghoa itu sendiri dalam menjaga dan memelihara etnisitas mereka selama orde baru, dan mempertanyakan pengertian yang simplistic mengenai “kebangkitan kembali” etnis. Pembahasan mengenai menjamurnya pendidikan bahasa mandarin dan replesentasi popular ketionghoaan dimedia telah menyajikan gambaran yang lebih rumit mengenai fenomena pasca-1998 yang secara naïf sering di lukiskan sebagai “euporia” satu tema umum yang mencuat adalah bahwa kedudukan orang tionghoa masih rentan dan dalam banyak hal tergantung pada kehendak pemerintah Indonesia, mayoritas pribumi , posisi internasional dan kebijakan china.

BAB 4 HETEROGENITAS DAN DINAMIKA INTERNAL POLITIK TIONGHOA

     Jatuhnya rezim orde baru juga menjadi tanda kembalinya kebebasan politik diindonesia, termasuk munculnya civil society. Pencabutan berbagai pembatasan atas partisipasi dan aktivisme politik yang telah berlaku selama 32 tahun membuka keran lahirnya banyak partai politik, kelompok-kelompok aksi, dan organisasi-organisasi non pemerintah (ornop). Banyak etnis tionghoa memamfaatkan kebebasan politik ini untuk mendirikan berbagai organisasi guna memperjuangkan penghapusan undang-undang yang diskriminatif, mempertahankan hak-hak mereka serta mempromosikan solidaritas antar kelompok etnis diindonesia.
     Heterogenitas organisasi dan politik tionghoa di Indonesia yang telah mengalami demokratisasi pasca-1998. Kesinambungan dan keterputusan stabilitas dan perubahan yang tak berkesudahan, serta perubahan dan kepastian sekaligus dalam organisasi-organisasi tionghoa muktahir membuat perempatan atau generalisasi menjadi mustahil apalagi membuat kategorisasi dengan menggunakan dikotomi-dikotomi sederhana seperti totok /peranakan, etnis/non etnis dan cultural/politik. Partisipasi etnis tionghoa pemilu 2004 menunjukan adanya pandangan politik yang sangat beragam dikalangan orang tionghoa. Mengingat adanya kemajemukan itu, konflik dan perdebatan internal bukanlah hal yang mengejutkan satu comtoh adalah peringatan tragedy mei 1998 pada tahun 2004, dimana parti di pandang sebagai wakil tidak sah masyarakat tionghoa dan acara peringatan itu dianggap memalukan oleh banyak orang tionghoa. Perbedaan generasi juga turut mewarnai keragaman organisasi tionghoa. Sadar bahwa kaum muda akan menjadi pemimpin masa depan organisasi-organisasi tersebut, sebagian pemimpin senior tionghoa menerima partisipasi mereka dalam organisasi yang mereka pimpin, tetapi menolak untuk berbagi kekuasaan dengan mereka.

BAB 5 TERBITNYA KEMBALI PERS TIONGHOA

            Sebagai bagian dari Program Asimilasi, penertiban bahan-bahan Tionghoa dan penggunaan bahasa Mandarin di tempat umum dilarang selama masa orde baru. Akibatnya, segala barang cetakan berhuruf china diklasifikasikan sebagai “barang import terlarang”. Pelarangan ini berakhir setelah rezim Soeharto jatuh. Era reformasi pasca-Soeharto ini dirayakan sebagai kebangkitan kembali kebebasan pers dan media di Indonesia yang dramatis; dan banyak penertiban yang sebelumnya dilarang maupun yang baru pun bermunculan semenjak rezim Soeharto jatuh. Pers dan media Tionghoa pun bermunculan semenjak rezim Soeharto jatuh. Pers dan media Tionghoa merupakan bagian dari arus mekarnya kembali kebebasan itu, dan banyak surat kabar harian maupun majalah baru berbahasa China pun bermunculan.
            Secara konvensional, para ahli membagi etnis Tionghoa ke dalam dua kelompok utama, yaitu kaum Totok dan Peranakan. Selama masa colonial hingga awal kemerdekaan, istilah “pers Tionghoa” mengacu pada berbagai penerbitan dalam bahasa Melayu – Tionghoa (yang juga disebut pers perananakan) serta yang terbit dalam bahasa Mandarin. Sebetulnya, pers Tionghoa pertama kali muncul di kepulauan nusantara pada awal 1900-an, yakni 1 dekade sebelum pers berbhasa mandarin terbit. Munculnya pers peranakan diilhami oleh bangkitnya nasionalisme pan-China pada akhir abad ke -19. Pers peranakan mengalami rasa identitas ke tionghoaannya bangkit kembali dan melalui hal inilah orang tionghoa berupaya menemukan kembali akar mereka dengan menuntut dimuatnya “cerita-cerita Tiongkok atau sesuatu tentang Tiongkok dan tentang diri merek sendiri dalam bahasa yang telah mereka akrabi” (Suryadinata 1978b : 131). Surat-surat kabar berbahasa mandarin terbit sebagai bagian dari masyarakat totok berbahasa tionghoa yang sedang tumbuh.

BAB 6 “RAS”, KELAS DAN STEREOTIFIKASI : PERSEPSI PRIBUMI TENTANG KETIONGHOAAN.

            Bab ini telah membahas relevansi dan perlunya analisis persepsi mengenai “ras” dalam kajian tentang hubungan Pribumi dan Tionghoa dalam masyarakat Indonesia mutakhir. Meskipun “ras” tidak popular dalam wacana akademis mengenai etnisitas dan kajian multicultural, daam wacana public di Jakarta. Hal ini sungguh merupakan sesuatu yang mendasar dan mengakar. Bab ini telah menunjukan bahwa penanda-penanda “ras” tertentu mempengaruhi cara orang mempresepsikan, mengonstruksikan dan berinteraksi dengan si-“liyan” yang dirasialisasikan. Dalam proses bagaimana orang pribumi membangun stereotip tentang orang Tionghoa. Orang tionghoa dikontruksikan sebagai bos yang berkuasa dan kaya, yang diperhadapkan dengan orang pribumi sebagai korban tak berdaya dan miskin. Kontruksi ini membakukan orang Tionghoa sebagai pelaku penindasan, sedangkan pribumi sebagai korban yang tak berdaya. Reduksionisme yang simplistic seperti ini mengabaikan dinamika hubungan kekuasaan yang kompleks antara negara, pribumi dan tionghoa. Akibatnya, keragaman di dalam kategori “diri” atas dasar kelas, gender, etnisitas, budaya dan agama, diabaikan; dan kategori ‘diri’ dianggap berbicara dengan suara tunggal. Di lain pihak, perbedaan antara kategori “diri” dan “liyan” dilebih-lebihkan dalam dualism yang tak dapat direkonsiliasikan, sedemikian rupa sehingga “garis imajiner” perbedaan yang diesensialisasikan itu dapat dipertahankan.

BAB 7 MENJAGA ETNISITAS: MENEGOSIASIKAN PEMELIHARAAN SEKAT DAN PENYEBERANGAN BATAS

     Penting diingat bahwa identitas etnis itu relasional. Oxfeld menyatakan bahwa identitas etnis itu “dialogis/refleksif” , karena identitas etnis itu “diciptakan, dipelihara, dan ditegaskan kembali melalui serangkaian oposisi antara kelompok sendiri dan kelompok lain secara terus-menerus “(2003:316).
            Daya identifikasi atas dasar tanda-tanda “rasial” misalnya seperti warna kulit dan penampilan tidak boleh diremehkan begitu saja. Antias dan Yuval Davis mengingatkan bahwa warna kulit dan penampilan bias digunakan sebagai penanda rasis, karena kedua hal itu “dipandang sebagai identifikasi keturunan umat manusia yang terpisah-pisah di dalam warisan yang kekal”(1992:155).







Ditulis, disunting dan dipublikasikan oleh Ari Intan P.S & Larezza D.S



Tidak ada komentar:

Posting Komentar