RESENSI
BUKU
IDENTITAS
TIONGHOA
Pasca-Suharto
-Budaya, Politik dan Media-
BAB
1 BERBAGAI PENDEKATAN UNTUK MEWADAHI KETIONGHOAAN
Indonesia
adalah sebuah bangsa dengan beragam etnis dan budaya. Cita-cita untuk
menciptakan sebuah negara-bangsa yang bersatu tampak dalam semboyan Bhinneka
Tunggal Ika , yang di patrikan pada tahun 1945. Jatuhnya Suharto pada tahun
1998 membuat ideology orde baru dan kebijakan asimilasi berakhir, sekaligus
membuka ruang baru bagi kebangkitan kembali politik identitas di seluruh
Indonesia. Pada saat yang sama, wacana multi kulturalisme pun muncul yang
kemudian diperbincangkan dan diperdebatkan dikalangan para aktivis social dan
akademisi.
ASIMILASIONALISME
DIBAWAH ORDE BARU SUHARTO
Antara 1966 dan 1998,
presiden Suharto menciptakan budaya nasional baru dengan menegaskan kembali
pentingnya ideology pancasila. Ideology nasional ini di promosikan sebagai
satu-satunya azas bagi semua “organisasi kemasyarakatan” (ormas) dan
“organisasi social- politik” (orsospol) dibawah rezim orde baru (morfit 1986 :
42). Suharto menghendaki pengalaman pancasila ini bias meresap “ke setiap sendi
kehidupan bangsa dan negara kita “ (Elson 2001 : 241). Bagi rezim orde baru,
pengamalan ideology pancasila merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan
tujuan pokok stabilitas dan keamanan politik yang di perlukan untuk pembangunan
nasional; jadi, “menyeleweng dari pancasila berarti memperlemah usaha
pembangunan, stabilitas nasional dan kepribadian rakyat Indonesia “ , (Morfit
1986: 43).
Akan tetapi, ideology
nasional orde baru tidak pernah secara efektif berupaya mewadahi kehadiran
etnis tionghoa. Dalam proses mendefinisikan identitas nasional atas dasar
keaslian atau kepribumian , orang tionghoa diliankan aatau dianggap sebagai
orang luar non pribumi, tetapi ironisnya, ketionghoaan secara luas juga
dianggap sebagai problem “domestic”, atau disebut masalah tionghoa, yang
mengganggu solidaritas bangsa. Melihat posisi dominan etnis tionghoa dalam perekonomian
bangsa sebagai suatu masalah, pemerintah orde baru berusaha mengatasinya dengan
mengabsahkan program pembauran yang didukung militer. Program ini menentukan
penghapusan secara total segala tanda dan penanda ketionghoaan dan mendorong
kelompok etnis yang bermasalah ini untuk membaurkan diri ke dalam budaya-budaya
daerah yang telah di konstruksikan secara resmi. Budaya-budaya daerah yang di
konstruksikan ini merupakan satu-satunya budaya etnis yang sah diindonesia
dijaman Suharto .dengan demikian , ketionghoaan senantiasa berada dalam ancaman
untuk dihapus.
POLITIK
MULTIKULTURALISME
Multikulturalisme,
sebuah kebijakan yang pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun
1960-an, merupakan suatu pergeseran signifikan dimana identitas di konstruksikan
dalam konteks modernitas barat. Multikulturalisme menandai ditinggalkannya
universalisme barat maupun ideology asimilasi monokultural (agger 1998)
kebijakan multicultural mendorong gerakan kembali ke akar dan penguatan
identitas etnis. Agger menggambarkan multikulturalisme sebagai “versi
posmodernisme amerika yang secara politis paling terlibat” (1998 : 69). Ia
mengatakan bahwa multikulturalisme muncul menyertai teori-teori postmodern yang
menekankan pemahaman bahwa perbedaan diantara orang per orang lebih penting
daripada kesamaan. Tuntutan atas diakuinya hak-hak, budaya, identitas kaum
minoritas- apa yang oleh Charles taylor dirujuk sebagai “politics of
recorgnition” (politik pengakuan) – berada dalam jantung wacana
multikulturalisme (1994). Multikulturalisme berupaya mensubversi homogenisasi
cultural dengan mengakui koeksistensi dan representasi berbagai budaya dan
kelompok masyarakat yang berbeda dalam sebuah negara- bangsa.
Ketetapan hati
multikulturalisme untuk memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang tetap dan tak
berubah telah membuat kebijakan ini bermasalah. Multikulturalisme yang terlalu
menekankan keterikatan cultural memiliki kekurangan untuk menjadi suatu bingkai
untuk menyembunyikan rasisme dibalik tabir “perbedaan cultural”. Ironisnya,
inilah efek yang hendak dihapuskan oleh kebijakan multikulturalisme itu
sendiri. Barangkali masalah riil multikulturalisme terletak pada kecenderungan
bahwa ‘’’-isme’ yang ada pada konsep ini mengubah ‘multikulturalisme’ menjadi
sebuah doktrin politik” (hall 2000 : 210). Kondisi multukultural hanya bias
dihidupi dan digerakan kembali dan ditransformasikan dengan pengakuan atas
hibriditas. Kendati demikian, konsep hibriditas tidaklah kebal terhadap
penyelewengan politik dan terkadang di (salah) respresentasikan sebagai wacana
harmoni multicultural yang sederhana. Ien Ang mengingatkan kita bahwa
“hibriditas, yakni suatu kondisi keberantaraan yang riil, tidak dapat diredusir
pada perkara sekadar jabat tangan, penyatuan dan perpaduan yang harmonis dan
menggembirakan “(2001a : 17).
Proses demokratisasi
telah mendorong maraknya politik identitas pada masa pasca – Suharto. Pada saat
bersamaan, politisasi ini telah menantang bangsa Indonesia untuk mencari
pendekatan (-pendekatan) baru guna mengakomodasi kelompok-kelompok etnisnya
yang beraneka ragam. Buat bangsa Indonesia pertanyaan penting yang perlu
diajukan bukanlah bagaimana “mengatasi” (overcome) atau “menyingkirkan” (get
rid) perbedaan, seperti dalam kasus kebijakan asimilasionisnya Orde Baru,
tetapi lebih pada bagaimana “hidup dengan” (live with) perbedaan (Ang 2001a:
1994; Papastergiadis 2005: 60). Dalam merumuskan suatu kebijakan multicultural
untuk menggantingkan paradigma asimilasonis lama, mutlak bagi para pengambil
kebijakan untuk mengakui percampuran silang-budaya, peminjaman dan hibridasi
yang terjadi dalam realitas dari hari ke hari sedemikian rupa sehingga
perbedaan-perbedaan etnis bias lebih berhasil diakomodasikan di negeri yang
beragam ini. *
BAB
2 KONSTRUKSI HISTORIS IDENTITAS MANUSIA
Etnis
Tionghoa di Indonesia telah bersikap fleksibel, tanggap dan kreatif dalam
menyesuaikan diri dengan perubahan. Tan Chee Beng menyatakan bahwa identitas
etnis dan cultural orang Tionghoa di Asia Tenggara telah dibentuk oleh berbagai
pengalaman local di negara tempat mereka tinggal dalam suatu proses yang
disebut lokalisasi (2001). Identitas orang Indonesia tionghoa berlapis-lapis
sesuai dengan tingkat adaptasi dan akulturasi mereka dengan kondisi-kondisi
setempat (lihat M.Li 2003). Manifestasi ketionghoaan yang berlainan dalam
periode pemerintahan yang berbeda menunjukan bahwa identitas itu tidak
statis,tetapi dinamis dan bias diubah serta didefinisikan kembali.
Peng-‘stereotip’-an
adalah metode mengolah informasi dengan cara meredusir citra dan gagasan [yang
kompleks] ke dalam bentuk yang sederhana dan bias ditangani (manageable)
(loomba 1998:59-60). Tidak ada garis nyata antara “diri” dan “lian” ; stereotip
berfungsi sebagai garis imajiner yang menetapkan “mereka” berpisah dari “kami”
(gilman 1985).
Gilman
berpendapat bahwa stereotip itu merupakan “produk dari sejarah dan suatu budaya
yang terus menerus menghidupkannya. Tak ada sesuatu yang acak; tidak ada
sesuatu yang terpisah dari konteks sejarah “(1985:20). Identitas tidak pernah
tetap dimasa lampau yang esensialis , “identitas itu tunduk pada ‘ permainan’
sejarah, budaya dan kekuasaan yang berlangsung “ ( hall 1993:394).
Pada
tahun 1991, siswono, yang waktu itu menjabat menteri negara perumahan rakyat,
menerbitkan sebuah risalah yang berisi 9” dosa” etnis tionghoa yang menurutnya
telah merusak citra mereka. Kesembilan dosa etnis tionghoa yang ia daftar itu
adalah sebagai berikut
1.
Mereka tinggal secara eksklusif di
lingkungan mereka sendiri;
2.
Sejumlah perusahaan lebih suka merekrut
orang-orang keturunan Tionghoa;
3. Dalam pemberian gaji, sejumlah
perusahaan melakukan tindakan diskriminatif, dengan memberikan gaji lebih
kepada pekerja dari etnis Tionghoa;
4. Ada sejumlah perusahaan yang
membeda-bedakan antara etnis Tionghoa dan etnis lain di Indonesia dalam
perilaku mereka terhadap klien, dalam relasi bisnis mereka;
5. Di lingkungan tempat tinggal, mereka
tidak menunjukkan kesetiakawanan social dan kebersamaan dengan orang-orang dari
etnis lain;
6. Ada di kalangan mereka yang rasa
identitas kebangsaannya masih sangat lemah,dan yang memperlakukan Indonesia
semata-mata sebagai tempat tinggal dan mencari penghasilan;
7. Ada yang kehidupan sehari-hari masih
berbahasa Tionghoa dan setia dengan tradisi mereka, dan yang bahkan tidak
mengenal adat istiadat Indonesia, dan yang tidak berusaha berbahasa Indonesia
dengan baik;
8.
Ada yang memandang kewarganegaraan
Indonesia mereka sebagai status hukum belaka;
9.
Ada yang merasa lebih hebat terhadap
kelompok-kelompok penduduk lainnya.
Tiga dari “dosa-dosa”
ini terkait dengan praktik-praktik bisnis para pengusaha Indonesia-Tionghoa.
Peran etnis Tionghoa yang begitu mencolok dalam perekonomian Indonesia turut
andil dalam pelanggengan stereotip negative ini. Hal ini juga karena alasan
bahwa banyak orang Tionghoa yang menjadi sangat kaya dibawah rezim Orde Baru
dan tidak sedikit di antaranya yang tampak memamerkan kekayaan mereka dengan
gaya hidup yang berlebihan – suatu keadaan yang dianggap sebagai masalah oleh
kaum Pribumi bila disandingkan dengan kemiskinan banyak orang Indonesia.
BAB 3 “KEBUDAYAAN”
TIONGHOA DAN IDENTITAS DIRI
Berbagai peristiwa politik mei 1998 yang memaksa Suharto
turun dari tampuk kekuasaannya membuat kedudukan etnis tionghoa yang sangat
bermasalah dalam hubungannya dengan bangsa Indonesia mencuat ke permukaan satu
konsekuensi dari berbagai kerusuhan itu adalah terjadinya apa yang oleh para
pakar maupun dimedia umum lazim disebut “kebangkitan kembali identitas
tionghoa, yang tercermin dalanm “kemunculan kembali” Pers, budaya , religi dan
bahasa mandarin. Untuk menunjukan bahwa mereka telah berjarak dari ideology
otoriter orde baru sekaligus memperlihatkan komitmen mereka pada reformasi dan
perubahan, para pengambil kebijakan dilingkungan pemerintah pasca orde baru
mengadopsi kebijakan multikulturalisme, dan mengamandemen kebijakan-kebijakan
tertentu yang diskriminatif terhadap etnis tionghoa.
Bab
ini secara kritis telah membahas peran “kebangkitan kembali “ bahasa dan budaya
tionghoa pasca-Suharto dalam pembentukan identitas tionghoa ditengah
kekuatan-kekuatan hibridisasi dan globalisasi. Bab ini mendokumentasikan peran
orang tionghoa itu sendiri dalam menjaga dan memelihara etnisitas mereka selama
orde baru, dan mempertanyakan pengertian yang simplistic mengenai “kebangkitan
kembali” etnis. Pembahasan mengenai menjamurnya pendidikan bahasa mandarin dan
replesentasi popular ketionghoaan dimedia telah menyajikan gambaran yang lebih
rumit mengenai fenomena pasca-1998 yang secara naïf sering di lukiskan sebagai
“euporia” satu tema umum yang mencuat adalah bahwa kedudukan orang tionghoa
masih rentan dan dalam banyak hal tergantung pada kehendak pemerintah
Indonesia, mayoritas pribumi , posisi internasional dan kebijakan china.
BAB 4 HETEROGENITAS DAN
DINAMIKA INTERNAL POLITIK TIONGHOA
Jatuhnya rezim orde
baru juga menjadi tanda kembalinya kebebasan politik diindonesia, termasuk
munculnya civil society. Pencabutan berbagai pembatasan atas partisipasi dan
aktivisme politik yang telah berlaku selama 32 tahun membuka keran lahirnya
banyak partai politik, kelompok-kelompok aksi, dan organisasi-organisasi non
pemerintah (ornop). Banyak etnis tionghoa memamfaatkan kebebasan politik ini
untuk mendirikan berbagai organisasi guna memperjuangkan penghapusan
undang-undang yang diskriminatif, mempertahankan hak-hak mereka serta
mempromosikan solidaritas antar kelompok etnis diindonesia.
Heterogenitas
organisasi dan politik tionghoa di Indonesia yang telah mengalami demokratisasi
pasca-1998. Kesinambungan dan keterputusan stabilitas dan perubahan yang tak
berkesudahan, serta perubahan dan kepastian sekaligus dalam
organisasi-organisasi tionghoa muktahir membuat perempatan atau generalisasi
menjadi mustahil apalagi membuat kategorisasi dengan menggunakan
dikotomi-dikotomi sederhana seperti totok /peranakan, etnis/non etnis dan
cultural/politik. Partisipasi etnis tionghoa pemilu 2004 menunjukan adanya
pandangan politik yang sangat beragam dikalangan orang tionghoa. Mengingat
adanya kemajemukan itu, konflik dan perdebatan internal bukanlah hal yang
mengejutkan satu comtoh adalah peringatan tragedy mei 1998 pada tahun 2004,
dimana parti di pandang sebagai wakil tidak sah masyarakat tionghoa dan acara
peringatan itu dianggap memalukan oleh banyak orang tionghoa. Perbedaan
generasi juga turut mewarnai keragaman organisasi tionghoa. Sadar bahwa kaum
muda akan menjadi pemimpin masa depan organisasi-organisasi tersebut, sebagian
pemimpin senior tionghoa menerima partisipasi mereka dalam organisasi yang
mereka pimpin, tetapi menolak untuk berbagi kekuasaan dengan mereka.
BAB 5 TERBITNYA KEMBALI
PERS TIONGHOA
Sebagai bagian dari Program Asimilasi, penertiban
bahan-bahan Tionghoa dan penggunaan bahasa Mandarin di tempat umum dilarang
selama masa orde baru. Akibatnya, segala barang cetakan berhuruf china
diklasifikasikan sebagai “barang import terlarang”. Pelarangan ini berakhir
setelah rezim Soeharto jatuh. Era reformasi pasca-Soeharto ini dirayakan
sebagai kebangkitan kembali kebebasan pers dan media di Indonesia yang
dramatis; dan banyak penertiban yang sebelumnya dilarang maupun yang baru pun
bermunculan semenjak rezim Soeharto jatuh. Pers dan media Tionghoa pun
bermunculan semenjak rezim Soeharto jatuh. Pers dan media Tionghoa merupakan
bagian dari arus mekarnya kembali kebebasan itu, dan banyak surat kabar harian
maupun majalah baru berbahasa China pun bermunculan.
Secara konvensional, para ahli membagi etnis Tionghoa ke
dalam dua kelompok utama, yaitu kaum Totok dan Peranakan. Selama masa colonial
hingga awal kemerdekaan, istilah “pers Tionghoa” mengacu pada berbagai
penerbitan dalam bahasa Melayu – Tionghoa (yang juga disebut pers perananakan)
serta yang terbit dalam bahasa Mandarin. Sebetulnya, pers Tionghoa pertama kali
muncul di kepulauan nusantara pada awal 1900-an, yakni 1 dekade sebelum pers
berbhasa mandarin terbit. Munculnya pers peranakan diilhami oleh bangkitnya
nasionalisme pan-China pada akhir abad ke -19. Pers peranakan mengalami rasa
identitas ke tionghoaannya bangkit kembali dan melalui hal inilah orang
tionghoa berupaya menemukan kembali akar mereka dengan menuntut dimuatnya
“cerita-cerita Tiongkok atau sesuatu tentang Tiongkok dan tentang diri merek
sendiri dalam bahasa yang telah mereka akrabi” (Suryadinata 1978b : 131).
Surat-surat kabar berbahasa mandarin terbit sebagai bagian dari masyarakat
totok berbahasa tionghoa yang sedang tumbuh.
BAB 6 “RAS”, KELAS DAN
STEREOTIFIKASI : PERSEPSI PRIBUMI TENTANG KETIONGHOAAN.
Bab ini telah membahas relevansi dan perlunya analisis
persepsi mengenai “ras” dalam kajian tentang hubungan Pribumi dan Tionghoa
dalam masyarakat Indonesia mutakhir. Meskipun “ras” tidak popular dalam wacana
akademis mengenai etnisitas dan kajian multicultural, daam wacana public di
Jakarta. Hal ini sungguh merupakan sesuatu yang mendasar dan mengakar. Bab ini
telah menunjukan bahwa penanda-penanda “ras” tertentu mempengaruhi cara orang
mempresepsikan, mengonstruksikan dan berinteraksi dengan si-“liyan” yang
dirasialisasikan. Dalam proses bagaimana orang pribumi membangun stereotip
tentang orang Tionghoa. Orang tionghoa dikontruksikan sebagai bos yang berkuasa
dan kaya, yang diperhadapkan dengan orang pribumi sebagai korban tak berdaya
dan miskin. Kontruksi ini membakukan orang Tionghoa sebagai pelaku penindasan,
sedangkan pribumi sebagai korban yang tak berdaya. Reduksionisme yang
simplistic seperti ini mengabaikan dinamika hubungan kekuasaan yang kompleks
antara negara, pribumi dan tionghoa. Akibatnya, keragaman di dalam kategori
“diri” atas dasar kelas, gender, etnisitas, budaya dan agama, diabaikan; dan
kategori ‘diri’ dianggap berbicara dengan suara tunggal. Di lain pihak, perbedaan
antara kategori “diri” dan “liyan” dilebih-lebihkan dalam dualism yang tak
dapat direkonsiliasikan, sedemikian rupa sehingga “garis imajiner” perbedaan
yang diesensialisasikan itu dapat dipertahankan.
BAB 7 MENJAGA
ETNISITAS: MENEGOSIASIKAN PEMELIHARAAN SEKAT DAN PENYEBERANGAN BATAS
Penting diingat bahwa identitas
etnis itu relasional. Oxfeld menyatakan bahwa identitas etnis itu
“dialogis/refleksif” , karena identitas etnis itu “diciptakan, dipelihara, dan
ditegaskan kembali melalui serangkaian oposisi antara kelompok sendiri dan
kelompok lain secara terus-menerus “(2003:316).
Daya identifikasi atas dasar tanda-tanda “rasial”
misalnya seperti warna kulit dan penampilan tidak boleh diremehkan begitu saja.
Antias dan Yuval Davis mengingatkan bahwa warna kulit dan penampilan bias
digunakan sebagai penanda rasis, karena kedua hal itu “dipandang sebagai
identifikasi keturunan umat manusia yang terpisah-pisah di dalam warisan yang
kekal”(1992:155).
Ditulis, disunting dan dipublikasikan oleh Ari Intan P.S & Larezza D.S
Ditulis, disunting dan dipublikasikan oleh Ari Intan P.S & Larezza D.S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar