Senin, 12 Juni 2017

KRONOLOGI PEH CUN DI TANGERANG.

Pada tahun 1900 Kapitan Oey Giok Koen menyumbangkan kepada Kelenteng Boen San Bio sepasang Perahu Naga, yaitu Naga Kuning dan Naga Merah. Tuan Tanah Kedaung juga turut menyumbangkan Perahu Papak Merah kepada Kelenteng Boen San Bio. Peristiwa ini terjadi ketika Kapitan Oey Giok Koen naik delman (kereta kuda) dan pada saat lewat di depan Kelenteng Boen San Bio ‘as’ kereta yang ditumpanginya patah, kemudian Kapitan Oey Giok Koen bersembahyang di Kelenteng Boen San Bio dan berjanji bila ia mempunyai anak laki-laki akan membuatkan sepasang Perahu Naga untuk Kelenteng Boen San Bio.


Kapitan Oey Giok Koen adalah salah satu pendiri Pendidikan Tionghoa Hwe Koan. Sekitar tahun 2008, komplek pemakaman Kapitan Oey Giok Koen bertempat di Priuk – Sangiang Kota Tangerang, dibongkar karena komplek pemakaman Kapitan Oey Giok Koen dijual oleh keturunannya dan sekarang menjadi perumahan Global Mansion, dikomplek ini yang hanya tersisa adalah sebuah kolam besar dan sangat disayangkan sebagian masyarakat Tionghoa Benteng kurang menaruh perhatian terhadap situs bersejarah yang menjadi jejak sejarah kerberadaan masyarakat Tionghoa di Tangerang. Di komplek pemakaman ini dapat diketemukan sejumlah relief maupun ukiran yang telah berusia ratusan tahun.
Kapitan Oey Khe Tay membuat Perahu Papak Hijau pada tahun 1900 dan dua tahun kemudian yaitu tahun 1902, hartawan dan para dermawan dari tiga gang (jalan) di depan Kelenteng Boen Tek Bio, yaitu Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cilangkap) dan Gang Gula (Cirarab) membuat Perahu Papak Merah untuk disumbangkan kepada Kelenteng Boen Tek Bio.

Perayaan Peh cun sendiri di Tangerang diperkirakan mulai dilaksanakan sejak tahun 1910. Hal ini karena di Jakarta, sungai-sungai sudah menjadi dangkal sehingga perayaan Peh cun dipindahkan ke Tangerang. Dengan sungai Cisadanenya yang cukup luas, maka Tangerang memenuhi syarat untuk melaksanakan perayaan Peh cun.

Pada perayaan Peh cun tahun 1911, menurut cerita, pada saat perlombaan Perahu Papak Hijau dan Merah ada ‘getek’ (rakit) yang melintang, malang di tengah sungai, sehingga Perahu Papak Hijau melompat dan persis jatuh diatas getek yang melintang itu. Hal ini mengakibatkan Perahu Papak Hijau patah ditengah (patah pinggang).

Perahu Papak Hijau yang patah itu kemudian disimpan di tempat Bapak Lim Tiang Tiang di Karawaci dan dijadikan satu dengan keramat yang sudah ada. Pada tahun 1912 Perkumpulan Boen Tek Bio membuat Perahu Papak Merah yang baru dibawah pengawasan Bapak Lim Hok Tjiang selaku sekretaris Perkumpulan Boen Tek Bio.

Pada tahun 1938 ada juga Perayaan Peh cun yang dirayakan pada tanggal 7-8 bulan 5 penanggalan Imlek (Go Gwee Ce Cit – Ce Pe). Pada perayaan ini dibuatlah sepasang Perahu Naga oleh Bapak Lim Tiang Hoat di daerah Kedaung Barat. Namun pada tahun 1942 ketika Jepang datang ke Indonesia, Perahu Naga itu dibakar.

Perlu diketahui juga dimulainya Perayaan Peh cun di Tangerang ini dikoordinir oleh Perkumpulan Boen Tek Bio, namun sayang pada tahun 1964 Perayaan ini berakhir. Sekian tahun telah berlalu, kemudian Pemerintah Kota Tangerang mengangkat kembali tradisi Peh cun di Tangerang sejak tahun 2000 yang terus berlanjut hingga sekarang.

Kronologi Empe Peh cun 
Diperkirakan pada tahun 1850 nenek buyut dari Bapak Rudi A.Kuhu mengambil sepotong kayu yang lewat di Sungai Cisadane, pada masa itu orang-orang masih memasak dengan menggunakan kayu bakar. Setelah beberapa hari kemudian, sewaktu potongan itu dijemur, nenek buyut Bapak Rudi A. Kuhu bermimpi bahwa potongan kayu tersebut minta untuk ‘dirawat’, sehingga dibuatkanlah sebuah gubug (rumah dari tiang bambu yang menggunakan atap rumbai) untuk menyimpan potongan kayu tersebut.
Pada tahun 1911, Perahu Papak Hijau yang patah ditengah dalam perlombaan Peh cun diletakkan pula di tempat keramat tersebut yang sekarang ini dikenal dengan sebutan Empe Peh cun.



Peh cun di Kedaung Barat
 Diperkirakan pada tahun 1938 atas usaha dari para penduduk di Kedaung Barat, Kampung Kelor yang dikepalai oleh mendiang Bapak Lim Tiang Hoat, telah membuat dua buah perahu Liong untuk turut merayakan Peh cun di tempatnya sendiri, dimulai dari tanggal 7-8 bulan 5 penanggalan Imlek (Go Gwee Ce Cit-Ce Pe). Meskipun keramaiannya tidak dapat dibandingkan dengan keramaian di Tangerang yang menjadi pusatnya, namun meraka telah menunjukkan bahwa di desa itu pun ada persatuan dan semangat Peh  cun. Namun sayang sekali, usaha itu tidak berjalan lama, karena pecahnya Perang Dunia Ke-II, dimana waktu itu terjadi kerusuhan yang mengakibatkan Sepasang Perahu Liong Peh cun di Kedaung Barat habis terbakar. Hal ini sungguh disayangkan.

Peh cun dilaksanakan 4-5 hari. Selain acara ritual terdapat acara hiburan seperti barongsai, panggung juga sudah disediakan untuk menyanyi dan menari. Orang - orang yang datang pada acara Peh cun dimulai dari anak-anak kecil hingga orang dewasa. Disana juga terdapat stand-stand yang menjual berbagau macam barang dan makanan. Puncak dari acara ini adalah ritual memandikan perahu papak merak peninggalan Kapitan Oey Giok Koeun (1900) dan papak hijau (1911). Ritual memandikan perahu ini merupakan representasi dari rasa penghormatan yang tinggi kepada Qu Yuan atas jasanya membela negara. Prosesi memandikan perahu dilakukan tepat pada pukul 12 malam pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Khongcu Lek. Ritual tahunan yang berlangsung sejak tahun 1900an ini sempat terhenti dalam waktu yang cukup lama dan kemudian dilanjutkan kembali. Perahu papak merah dan hijau dimandikan menggunakan air kembang. Setiap orang yang datang dipersilakan untuk memandikan perahu dengan cara mengusapnya menggunakan kain merah yang sudah disediakan. Selain sebagai tradisi penghormatan kepada leluhur, ritual ini juga dipercaya dapat membawa keberuntungan bagi warga yang turut memandikan perahu tersebut. Memandikan perahu ini dipercaya bisa membuat enteng jodoh, murah rezeki. Termasuk, sebagai wujud akulturasi budaya, bahwa kegiatan etnis Tionghoa ini juga dilakukan di Indonesia.

Ari Intan PS, Larezza DS, Keke Utamy W